TRIPLE "A" PLUS

TRIPLE "A" PLUS

Kamis, 10 Juni 2010

Sejarah Penyusunan Al-Qur'an

I. KEASLIAN QUR-AN

SEJARAH PENYUSUNANNYA

Keaslian yang tak dapat disangsikan lagi telah memberi
kepada Qur-an suatu kedudukan istimewa di antara kitab-kitab
Suci, kedudukan itu khusus bagi Qur-an, dan tidak dibarengi
oleh Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. Dalam dua bagian
pertama daripada buku ini kita telah menjelaskan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam Perjanjian Lama dan
empat Injil, sebelum Bibel dapat kita baca dalam keadaannya
sekarang. Qur-an tidak begitu halnya, oleh karena Qur-an
telah ditetapkan pada zaman Nabi Muhammad, dan kita akan
lihat bagaimana caranya Qur-an itu ditetapkan

Perbedaan-perbedaan yang memisahkan wahyu terakhir daripada
kedua wahyu sebelumnya, pada pokoknya tidak terletak dalam
"waktu turunnya" seperti yang sering ditekankan oleh
beberapa pengarang yang tidak memperhatikan hal-hal yang
terjadi sebelum kitab suci Yahudi Kristen dibukukan, dan
hal-hal yang terjadi sebelum pembukuan Qur-an, mereka juga
tidak memperhatikan bagaimana Qur-an itu diwahyukan kepada
Nabi Muhammad.

Orang mengatakan bahwa teks yang ada pada abad VII Masehi
mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk dapat sampai
kepada kita tanpa perubahan daripada teks yang jauh lebih
tua daripada Qur-an dengan perbedaan 15 abad. Kata-kata
tersebut adalah tepat, akan tetapi tidak memberi keterangan
yang cukup. Tetapi di samping itu, keterangan tersebut
diberikan untuk memberi alasan kepada perubahan-perubahan
teks kitab suci Yahudi Kristen yang terjadi selama
berabad-abad, dan bukan untuk menekankan bahwa teks Qur-an
itu karena lebih baru daripada teks kitab suci Yahudi
Kristen, lebih sedikit mengandung kemungkinan untuk dirubah
oleh manusia.

Bagi Perjanjian Lama, yang menjadi sebab kekeliruan dan
kontradiksi yang terdapat di dalamnya adalah: banyaknya
pengarang sesuatu riwayat, dan seringnya teks-teks tersebut
ditinjau kembali dalam periode-periode sebelum lahirnya Nabi
Isa; mengenai empat Injil yang tidak ada orang dapat
mengatakan bahwa kitab-kitab itu mengandung kata-kata Yesus
secara setia dan jujur atau mengandung riwayat tentang
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan realitas yang
sungguh-sungguh terjadi, kita sudah melihat bahwa
redaksi-redaksi yang bertubi-tubi menyebabkan bahwa
teks-teks tersebut kehilangan autentisitas. Selain daripada
itu para penulis Injil tidak merupakan saksi mata terhadap
kehidupan Yesus.

Selain daripada itu kita harus membedakan antara Qur-an,
Wahyu tertulis, daripada Hadits jami' kumpulan riwayat,
tentang perbuatan dan kata-kata Nabi Muhammad. Beberapa
sahabat Nabi telah mulai mengumpulkannya segera setelah Nabi
Muhammad wafat.5 Dalam hal ini, dapat saja terjadi
kesalahan-kesalahan yang bersifat kemanusiaan karena para
penghimpun Hadits adalah manusia-manusia biasa; akan tetapi
kumpulan-kumpulan mereka itu kemudian disoroti dengan tajam
oleh kritik yang sangat serius, sehingga dalam prakteknya,
orang lebih percaya kepada dokumen yang dikumpulkan orang,
lama setelah Nabi Muhammad wafat.

Sebagaimana halnya dengan teks-teks Injil, Hadits mempunyai
autentisitas yang berlainan, dari satu pengumpul kepada
pengumpul yang lain. Sebagaimana hal Injil, tak ada sesuatu
Injil yang ditulis pada waktu Yesus masih hidup (karena
semuanya ditulis lama sesudah Nabi Isa meninggal) maka
kumpulan Hadits juga dibukukan setelah (Nabi Muhammad
meninggal).

Bagi Qur-an, keadaannya berlainan. Teks Qur-an atau Wahyu
itu dihafalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, langsung
setelah wahyu diterima, dan ditulis oleh beberapa
sahabat-sahabatnya yang ditentukannya. Jadi, dari permulaan,
Qur-an mempunyai dua unsur autentisitas tersebut, yang tidak
dimiliki Injil. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Nabi
Muhammad. Penghafalan Qur-an pada zaman manusia sedikit
sekali yang dapat menulis, memberikan kelebihan jaminan yang
sangat besar pada waktu pembukuan Qur-an secara definitif,
dan disertai beberapa regu untuk mengawasi pembukuan
tersebut.

Wahyu Qur-an telah disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh
malaikat Jibril, sedikit demi sedikit selama lebih dari 20
tahun. Wahyu yang pertama adalah yang sekarang merupakan
ayat-ayat pertama daripada surat nomor 96. Kemudian Wahyu
itu berhenti selama 3 tahun, dan mulai lagi berdatangan
selama 20 tahun sampai wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632
M.; dapat dikatakan bahwa turunnya Wahyu berlangsung 10
tahun sebelum Hijrah (622) dan 10 tahun lagi sesudah Hijrah.

Wahyu yang pertama diterima Nabi Muhammad adalah sebagai
berikut (Surat 96 ayat 1-5):6

"Bacalah dengan {menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya."

Professor Hamidullah mengatakan dalam Pengantar yang dimuat
dalam terjemahan Qur-an bahwa isi dari wahyu pertama adalah
"penghargaan terhadap kalam sebagai alat untuk pengetahuan
manusia" dan dengan begitu maka menjadi jelas bagi kita
"perhatian Nabi Muhammad untuk menjaga kelangsungan Qur-an
dengan tulisan."

Beberapa teks menunjukkan secara formal bahwa lama sebelum
Nabi Muhammad meninggalkan Mekah untuk hijrah ke Madinah,
ayat-ayat Quran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad
sudah dituliskan. Kita nanti akan mengetahui bahwa Qur-an
membuktikan hal tersebut.

Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya
biasa menghafal teks-teks yang telah diwahyukan. Adalah
tidak masuk akal jika Qur-an menyebutkan hal-hal yang tidak
sesuai dengan realitas, karena hal-hal itu mudah dikontrol
disekeliling Muhammad yakni oleh sahabat-sahabat yang
mencatat Wahyu tersebut.

Empat Surat Makiyah (diturunkan sebelum Hijrah) memberi
gambaran tentang redaksi Qur-an sebelum Nabi Muhammad
meninggalkan Mekah pada tahun 622 M.

Surat 80 ayat 11-1 6:

"Sekali-kali jangan (demikian), sesungguhnya ajaran-ajaran
Tuhan itu adalah peringatan, maka barang siapa yang
menghendaki, tentulah ia memperhatikan. Di dalam kõtab-kitab
yang dimuliakan, yang ditinggikan, lagi disucikan. Di tangan
para penulis, yang mulia lagi berbakti."

Yusuf Ali, dalam Terjemah Qur-an yang ditulisnya pada tahun
1936 mengatakan bahwa pada waktu Surat tersebut diwahyukan
sudah ada 42 atau 45 Surat yang beredar di antara kaum
muslimin di Mekah (Jumlah Surat-surat dalam Qur-an adalah
114 Surat).

"Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al Qur-an yang
mulia yang tersimpan dalam Lauhul Mahfudz."

"Sesungguhnya Al Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia
(yang terdapat) pada kitab yang terpelihara (Lauhul
Makfudz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."

"Dan mereka berkata (lagi). Dongengan-dongengan orang-orang
dahulu dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah
dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang."

Ayat tersebut menyinggung dakwaan para lawan Nabi Muhammad
yang menuduh bahwa Muhammad adalah Nabi palsu, mereka
menggambarkan bahwa ada orang yang mendiktekan sejarah kuno
kepada Nabi Muhammad dan Muhammad menyuruh
sahabat-sahabatnya untuk menulisnya.

Ayat tersebut menyebutkan: "Pencatatan dengan tulisan" yang
didakwakan kepada Muhammad oleh lawan-lawannya.


II. KEASLIAN QUR-AN
Suatu Surat yang diturunkan sesudah Hijrah, menyebutkan
tentang lembaran-lembaran yang di dalamnya tertulis
perintah-perintah suci.

Surat 98 ayat 2 dan 3:

"Seorang Rasul dari Allah (yaitu Nabi Mahammad) yang
membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur-an). Di
dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus."

Dengan begitu maka Qur-an sendiri memberitahukan bahwa
penulisan Quran telah dilakukan semenjak Nabi Muhammad masih
hidup. Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad mempunyai juru
tulis-juru tulis banyak, di antaranya yang termashur adalah
Zaid bin Tsabit.

Dalam pengantar dalam Terjemahan Qur-annya (197) Prof.
Hamidullah melukiskan kondisi waktu teks Qur-an ditulis
sampai Nabi Muhammad wafat.

Sumber-sumber sepakat untuk mengatakan bahwa tiap kali suatu
fragmen daripada Qur-an diwahyukan, Nabi memanggil seorang
daripada para sahabat-sahabatnya yang terpelajar dan
mendiktekan kepadanya, serta menunjukkan secara pasti tempat
fragmen baru tersebut dalam keseluruhan Qur-an.
Riwayat-riwayat menjelaskan bahwa setelah mendiktekan ayat
tersebut, Muhammad minta kepada juru tulisnya untuk membaca
apa yang sudah ditulisnya, yaitu untuk mengadakan pembetulan
jika terjadi kesalahan. Suatu riwayat yang masyhur
mengatakan bahwa tiap tahun pada bulan Ramadlan, Nabi
Muhammad membaca ayat-ayat Qur-an yang sudah diterimanya di
hadapan Jibril. Pada bulan Ramadlan yang terakhir sebelum
Nabi Muhammad meninggal, malaikat Jibril mendengarkannya
membaca (mengulangi hafalan) Qur-an dua kali. Kita
mengetahui bahwa semenjak zaman Nabi Muhammad, kaum
muslimin membiasakan diri untuk berjaga pada bulan Ramadlan
dan melakukan ibadat-ibadat tambahan dengan membaca seluruh
Qur-an. Beberapa sumber menambahkan bahwa pada pembacaan
Qur-an yang terakhir di hadapan Jibril, juru tulis Nabi
Muhammad yang bernama Zaid hadir. Sumber-sumber lain
mengatakan bahwa di samping Zaid juga ada beberapa orang
lain yang hadir.

Untuk pencatatan pertama, orang memakai bermacam-macarn
bahan seperti kulit, kayu, tulang unta, batu empuk untuk
ditatah dan lain-lainnya.

Tetapi pada waktu yang sama Muhammad menganjurkan supaya
kaum muslimin menghafalkan Qur-an, yaitu bagian-bagian yang
dibaca dalam sembahyang. Dengan begitu maka muncullah
sekelompok orang yang dinamakan hafidzun (penghafal Qur-an)
yang hafal seluruh Qur-an dan mengajarkannya kepada
orang-orang lain. Metoda ganda untuk memelihara teks Qur-an
yakni dengan mencatat dan menghafal ternyata sangat
berharga.

Tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 632 M.),
penggantinya (sebagai Kepala Negara), yaitu Abu Bakar,
Khalifah yang pertama, minta kepada juru tulis Nabi, Zaid
bin Tsabit untuk menulis sebuah Naskah; hal ini ia
laksanakan.

Atas initiatif Umar (yang kemudian menjadi Khalifah kedua),
Zaid memeriksa dokumentasi yang ia dapat mengumpulkannya di
Madinah; kesaksian daripada penghafal Qur-an, copy Qur-an
yang dibikin atas bermacam-macam bahan dan yang dimiliki
oleh pribadi-pribadi, semua itu untuk menghindari kesalahan
transkripsi (penyalinan tulisan) sedapat mungkin. Dengan
cara ini, berhasillah tertulis suatu naskah Qur-an yang
sangat dapat dipercayai.

Sumber-sumber mengatakan bahwa kemudian Umar bin Khathab
yang menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, menyuruh bikin
satu naskah (mushaf) yang ia simpan, dan ia pesankan bahwa
setelah ia mati, naskah tersebut diberikan kepada anaknya
perempuan, Hafsah janda Nabi Muhammad

Khalifah ketiga, Uthman bin Affan yang menjabat dari tahun
644 sampai 655, membentuk suatu panitya yang terdiri
daripada para ahli dan memerintahkan untuk melakukan
pembukuan besar yang kemudian membawa nama Khalifah
tersebut. Panitya tersebut memeriksa dokumen yang dibuat
oleh Abubakar dan yang dibuat oleh Umar dan kemudian
disimpan oleh Hafsah, panitya berkonsultasi dengan
orang-orang yang hafal Qur-an. Kritik tentang autentisitas
teks dilakukan secara ketat sekali. Persetujuan saksi-saksi
diperlukan untuk menetapkan suatu ayat kecil yang mungkin
mempunyai arti lebih dari satu; kita mengetahui bahwa
beberapa ayat Qur-an dapat menerangkan ayat-ayat yang lain
dalam soal ibadat. Hal ini adalah wajar jika kita mengingat
bahwa kerasulan Muhammad adalah sepanjang dua puluh tahun.7

Dengan cara tersebut di atas, diperolehlah suatu teks di
mana urutan Surat-surat mencerminkan urutan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad ketika membaca Qur-a:n di bulan Ramadlan
di muka malaikat Jibril seperti yang telah diterangkan di
atas.

Kita dapat bertanya-tanya tentang motif yang mendorong 3
Khalifah pertama, khususnya Uthman untuk mengadakan koleksi
dan pembukuan teks. Motif tersebut adalah sederhana;
tersiarnya Islam adalah sangat cepat pada beberapa dasawarsa
yang pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad. Tersiarnya
Islam tersebut terjadi di daerah-daerah yang penduduknya
tidak berbahasa Arab. Oleh karena itu perlu adanya
tindakan-tindakan pengamanan untuk memelihara tersiarnya
teks Qur-an dalam kemurnian aslinya. Pembukuan Uthman adalah
untuk memenuhi hasrat ini.

Uthman mengirimkan naskah-naskah teks pembukuannya ke
pusat-pusat Emperium Islam, dan oleh karena itu maka menurut
Professor Hamidullah , pada waktu ini terdapat naskah Qur-an
(mushaf) Uthman di Tasykent8 dan Istambul. Jika kita sadar
akan kesalahan penyalinan tulisan yang mungkin terjadi,
manuskrip yang paling kuno yang kita miliki dan yang
ditemukan di negara-negara Islam adalah identik. Begitu juga
naskah-naskah yang ada di Eropa. (Di Bibliotheque National
di Paris terdapat fragmen-fragmen yang menurut para ahli,
berasal dan abad VIII dan IX Masehi, artinya berasal dari
abad II dan III Hijrah). Teks-teks kuno yang sudah ditemukan
semuanya sama, dengan catatan ada perbedaan-perbedaan yang
sangat kecil yang tidak merubah arti teks, jika konteks
ayat-ayat memungkinkan cara membaca yang lebih dari satu
karena tulisan kuno lebih sederhana daripada tulisan
sekarang.

Surat-surat Qur-an yang berjumlah 114, diklasifikasi menurut
panjang pendeknya, dengan beberapa kekecualian. Oleh karena
itu urutan waktu (kronologi) wahyu tidak dipersoalkan;
tetapi orang dapat mengerti hal tersebut dalam kebanyakan
persoalan. Banyak riwayat-riwayat yang disebutkan dalam
beberapa tempat dalam teks, dan hal ini memberi kesan
seakan-akan ada ulangan. Sering sekali suatu paragraf
menambahkan perincian kepada suatu riwayat yang dimuat di
lain tempat secara kurang terperinci. Dan semua yang mungkin
ada hubungannya dengan Sains modern, seperti kebanyakan
hal-hal yang dibicarakan oleh Qur-an, dibagi-bagi dalam
Qur-an dengan tidak ada suatu tanda adanya klasifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar